Bertuhan dan Beragama.
Beberapa grup di whatsapp saya sedang perlu diredam (baca : mute) karena berbincang masalah penulisan agama di KTP. Saya tidak pernah menanggapi, bukan karena waton suloyo, atau terserah nantinya seperti apa, tapi saya yakin bertuhan bukan merupakan label yang wajib tertera.
Konsep ketuhanan dan keagamaan
berbeda, bertuhan belum tentu beragama, dan beragama belum tentu bertuhan.
Beruntunglah mereka yang termasuk di keduanya. Tapi sayangnya banyak
orang-orang dikategorikan dalam golongan kedua, karena masalah KTP.
Di Indonesia, agama dijadikan
formalitas penulisan identitas, saat melamar kerja, masuk universitas, dan
persyaratan-persyaratan lain. Kenapa?
Padahal kita tidak mendaftar di sebuah institusi keagamaan, tetapi tetap saja
ditanyakan. Dan kebanyakan dijawab dengan satu agama yang sudah diketahui sejak
lahir, agama bawaan Ayah Ibu, Nenek Moyang, atau sudah dari sononya. Sedikit
yang menemukan Tuhannya dari agama bawaan tersebut. Mengaji dari kecil, buat
apa? Disuruh ibu. Ketika sudah besar? Takut neraka, katanya. Memang neraka ada?
Katanya sih, gitu,
Konsep bertuhan tidak sesempit
itu. Bertuhan dalam konsep saya adalah meyakini ada kekuatan lebih besar dari
manusia yang mengendalikan alam semesta dan printilan-printilan didalamnya. Kekuatan
itu mencipta sekaligus menjadi teman bercengkrama. Ia yang saya sapa rutin lima
kali sehari. Ketika malam larut, saya mengadu berkeluh kesah layaknya sahabat
imaginer.
Saya bertemu denganNya baru
empat tahun yang lalu. Ironisnya malah ketika jauh dari rumah, padahal rumahlah
yang “menjodohkan” saya denganNya. Seorang ibu sebagai guru mengaji, dan Ayah
yang Muhammadiyah banget. Tapi apa iya saya sudah meyakini saat itu? Tidak.
Perintah Tuhan yang saya jalankan hanya karena disuruh orangtua, pintar mengaji
karena dipaksa bisa oleh Ibu, dan sholat pun sering lewat.
Keyakinan didapat ketika
suara-suara itu jauh lalu menghilang. Ketika kamu yakin tidak ada manusia yang
kamu kenal bisa menolongmu. Ketika kamu tersesat dan berpaling, ternyata Ia
tidak. Tuhan tahu tapi menunggu. Mengamatimu tanpa kau sadari, sampai kau
terpuruk di lubang terdalammu kemudian pelan tapi pasti mengulurkan tangan
entah lewat perantara apa dan siapa untuk membantumu berdiri.
Untungnya, tidak perlu lubang
terdalam untuk membuat saya menemukan Ia sebelumnya. Maka ketika lubang
terdalam itu hadir, saya yakin Ia selalu ada, dalam makna sesungguhnya. Tidak
perlu keterangan di KTP ataupun indentitas lainnya.
Comments