Story From Aceh.

Saya melihat duka yang masih tersimpan di Aceh. Duka dari janda-janda di jalanan yang kehilangan suaminya, duka trauma dari konflik beberapa tahun silam, duka dari anak-anak yang kehilangan orangtua dengan berbagai cara tragis, kakak yang kehilangan adik. Duka atas segala bentuk kehilangan yang tidak bisa saya bayangkan.

Duka yang paling mendalam adalah duka karena terabaikan, oleh pemerintah pusat, pun pemerintah daerah. Lagi, saya bergabung dalam penelitian sosial. Kali ini pemetaan konflik di Aceh Timur bersama Pusat Studi Konflik dan Perdamaian UGM dan Medco (Tidak apa menebak arah penelitian ini akan kemana). Seminggu saya di Aceh dengan perjalanan udara dan darat yang luar biasa. Jogja-Jakarta-Medan-Aceh Timur.
Aceh Timur terdiri dari 26 Desa, beberapa letaknya luar biasa di pelosok tanpa penerangan, jalan yang rusak parah, dan sinyal yang timbul tenggelam. Semakin ke pelosok, saya semakin takjub pada kekayaan Nangroe ini. Sawit, karet, cokelat, durian, dan pohon-pohon raksasa tersedia berhektar-hektar di sekeliling desa. Saya juga bisa menemukan beberapa orang sedang 'memancing' minyak di tanah-tanah kosong. Aceh sungguh kaya, ingatkah kita bahwa masyarakat Aceh lah yang menyumbangkan pesawat pertama untuk Indonesia?
Beberapa tahun lalu Aceh penuh luka, Ia ingin merdeka. Perasaan berontak karena terabaikan oleh pemerintah pusat  dan ditekan oleh kekejaman orde baru. Sejarah konflik di Aceh yang sangat panjang pun tidak bisa saya serap seutuhnya. Namun, duka yang terasa sampai saat ini masih menjadi pengingat kita setelah Perjanjian Damai di Helsinki, Finland pada Agustus 2005 lalu. Sekarang Aceh masih berbenah, berharap kita tidak lupa akan keberadaannya, ujar Sang Panglima.









 
















Perjalanan selama tiga minggu di berbagai level yang berbeda mulai dari pelosok Aceh sampai rimba Jakarta menambah lagi pengalaman bertemu orang-orang hebat, menambah kosakata, dialektika, dan juga pundi-pundi rupiah x)


Comments

Popular Posts